Wednesday, February 24, 2010

trik & tip promosi

Mikro Aria Promotion Concept


Buyer & Merchandising (wwn )
Mikro Aria Swalayan promotion concept
Objective
Untuk meningkatkan jumlah customer
Untuk meningkatkan jumlah penjualan (all product ) di Mikro Aria Swalayan
Untuk memberikan image / kesan harga murah di Mikro Aria Swalayan
Untuk meningkatkan loyalitas customer terhadap Miro Aria Swalayan
Untuk menciptakan atmosphere pada Mikro Aria Swalayan
Misi & sasaran :

Mencapai target margin yang ditetapkan oleh perusahaan.
Memformulasikan dalam bentuk konsep promosi
Mensosialisasikan program yang ada keseluruh departement

Usulan Metode promosi Mikro Aria Swalayan saat ini :
Promosi saat ini : Harga Special
a. Periode promosi 1 minggu ( dimulai pada hari Sabtu )
b. Kriteria produk yang fast moving / produk terkenal
c. Teknik display dengan floor display ( all item promosi
didisplay jadi satu )
d. POP material “Mikro Aria ( 29,5 cm X 34,5cm )
e. Cara penulisan, 1 POP untuk banyak produk ( dalam floor dis-
play tersebut )
f. Display di regular gondola / shelfing tidak ada POP material
g. Media promo ekstern berupa selebaran yang difoto copy dan
ditempel di toko

h. Teknik display dengan “ End Gondola “ yang hanya berisi 1 item
produk secara “ FULL atau BULKY “.
. Teknik display dengan “ Floor Display “ yang hanya berisi 1 atau
2 item produk yang merupakan cross merchandise, yang
didisplay secara “ FULL atau BULKY “.
( dengan metode display seperti ini maka harus disiapkan bebe-
rapa End Gondola atau Floor Display yang tidak disewakan
untuk display item promosi
i. Penulisan POP material : 1 POP material untuk 1 item produk.
j. Bahan POP material sesuai dengan SOP yang berlaku.
k. POP material untuk regular gondola sesuai dengan SOP yang
berlaku.
. Media promosi dengan leaflet serta mas media.
( konsep akan dibahas dengan team 7/ marketing )
Usulan periode promosi Mikro Aria Swalayan :
Usulan : Harga Hemat
a. Periode promosi : 1 bulan ( tanggal 1 s/d ahkir bulan )
: 2 minggu ( tanggal 16 s/d ahkir bulan )
b. Kriteria, produk yang mendapatkan discount dari
supplier
c. Tehknik display : produk display hanya di shelfing
regular, kecuali ada sewa dari supplier terhadap
End Gondola atau lainya.
d. POP material serta cara penulisan sesuai dengan
SOP yang berlaku.
e. Leaflet promosi diterbitkan satu kali tiap periode
promosi.

Pembagian item promosi Special Murah:
Food : 4 item
Non Food : 4 item
H B C : 4 item
Household : 4 item
Vegetable : 3 item
TOTAL : 15 item
Note : Ini hanya contoh, data penentuan jumlah item bisa dilihat dengan membandingkan kontribursi per dept/plu dengan total sales ( lihat data TOS )

Pembagian item promosi Harga Hemat :
Food : 25 item
Non Food : 25 item
H B C : 25 item
Household : 5 item
TOTAL : 80 item
Note : Ini hanya contoh, data penentuan jumlah item bisa dilihat dengan membandingkan kontribursi per dept/plu dengan total sales ( lihat data GOLD )

Buyer & Merchandising
G O A L
( by, wwn )

kutipan bisnis ritel swalayan

Arsip untuk ‘(09) Menghitung Modal’ Kategori
(9) Menghitung Modal
13 Desember 2007
Beberapa rekan mengirim email kepada saya menanyakan tentang “Berapa modal yang diperlukan?”. Pertanyaan itu kedengaran seperti merujuk pada pembangunan toko secara umum, maka jawaban paling diplomatis adalah : “Tergantung…….”. Tergantung pada seberapa besar toko yang hendak dibangun. Tergantung juga pada kebutuhan modal yang mana, modal keseluruhan termasuk lahan dan bangunan, atau hanya modal kerja toko saja. Namun jika pertanyaan itu merujuk pada “Madurejo Swalayan”, maka lebih baik akan saya beberkan saja pengalaman berikut ini.

“Madurejo Swalayan” berdiri di atas lahan agak memanjang ke belakang yang semula berupa sawah di pinggir jalan. Bagian depan dipakai untuk bangunan toko, bagian tengah untuk bangunan tempat kamar istirahat dan gudang, dan bagian belakang dibiarkan kosong untuk klangenan. Untuk keperluan hitung-hitungan ekonomi, saya akan mencuplik sebagian lahan saja yang memang benar-benar digunakan untuk bangunan tokonya sendiri termasuk kantor, kamar kecil dan mushola. Desain tata ruang yang ada sekarang ini sebenarnya tidak pas untuk toko ritel. Sebab, seperti pernah saya singgung sebelumnya, keputusan untuk membuka toko swalayan ini baru diikrarkan ketika bangunan sudah telanjur dimulai, artinya tidak direncana sejak sebelum membangun toko. Ini langkah yang tidak seharusnya ditiru.

***

Meskipun luas tokonya sendiri hanya sekitar 90 m2, tetapi total luas lahan yang saya alokasikan untuk keperluan toko adalah sekitar 200 m2. Ini karena area parkir yang disediakan cukup luas, juga bangunan kantor, kamar kecil serta mushola di belakang toko. Belum termasuk gudangnya. Sejujurnya, pengalokasian yang ada sekarang ini sebenarnya kurang efektif. Dengan kata lain, terlalu boros dalam penyediaan lahan. Jika pengaturan tata pemanfaatan lahan dapat lebih terencana sejak semula, mestinya tidak perlu seboros itu. Tapi baiklah, ini kisah ketelanjuran yang tidak patut dicontoh.

Saya perkirakan nilai lahan yang saya cuplik dari total lahan yang ada adalah sekitar Rp 40 juta,- . Luas total bangunannya sekitar 120 m2, saya anggap senilai Rp 180 juta,- termasuk prasarana bangunan toko. Maka, angka total Rp 220 juta,- saya gunakan sebagai pedoman bagi perhitungan total modal properti lahan dan bangunan untuk “Madurejo Swalayan”.

Untuk rencana toko di lokasi berbeda, dengan ukuran berbeda dan desain berbeda, tentu akan berbeda pula modal properti yang harus disediakan. Seorang teman saya malah berani menyewa ruangan seluas hanya 25 m2 untuk membuka toko swalayan mini. Seorang saudara saya lainnya membeli dan membangun toko sejenis seluas lebih dua kali luas “Madurejo Swalayan”. Jadi, sebaiknya tidak terpukau dengan luas toko, melainkan seberapa tingkat kemampuan dan keberanian kita untuk membobok celengan.

Saya pikir, apakah akan menyewa atau membeli lahan, bukanlah hal yang kritikal. Masih ada banyak faktor lainnya yang lebih kritikal untuk dipertimbangkan, antara lain tentang potensi pasar dan peluang pengembangannya. Inilah salah satu manfaat dari pembuatan bussiness plan sebelum memulai usaha, sehingga setiap alternatif bisa terlebih dahulu dikaji dengan cermat untung-ruginya, sebelum dieksekusi. Dalam kasus “Madurejo Swalayan”, ya karena memang sebelumnya sudah telanjur punya lokasi di situ.
Selanjutnya dihitung berapa modal tetap untuk prasarana toko yang antara lain meliputi rak-rak, perlengkapan kantor, sistem komputer dan sebagainya. Salah satu keuntungan melakukan perencanaan tata ruang adalah untuk mengoptimalkan biaya prasarana toko, tidak sekedar “gimana gitu, loh”.
Untuk keperluan komputerisasi dan kelengkapan piranti keras dan piranti lunak, sebenarnya biayanya tidak terlalu tinggi, wajar saja. Tetapi yang cukup “berbunyi” nilai uangnya adalah untuk keperluan rak-rak toko. “Madurejo Swalayan” memilih untuk menggunakan rak-rak seken (bekas) yang sudah direkondisi (kata lain untuk dicat-ulang). Harganya bisa setengahnya dibandingkan rak-rak baru untuk kualitas barang yang tergolong bagus. Itupun “bunyinya” sudah lebih Rp 33 juta,- untuk tahap awal sebelum beroperasi. Saya katakan tahap awal, karena biasanya seiring pergerakan usaha di tahun pertama akan memerlukan penambahan prasarana. Tentu saja mesti disesuaikan dengan kemampuan kita untuk menyediakan tambahan modal. Pendek kata, untuk kebutuhan modal prasarana toko setelah saya hitung-hitung telah mengalokasikan biaya sekitar Rp 50 juta,- lebih sedikit.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menekan biaya modal prasarana toko adalah dengan membuat sendiri rak-raknya. Ini mudah dilakukan karena banyak toko yang menjual bahan-bahan komponennya, tinggal merangkai sendiri. Cara ini banyak dilakukan oleh toko-toko tradisional dan toko-toko besi atau bangunan. Jika alternatif ini yang diambil, maka konsekuensinya soal tampilan menjadi nomor dua. Ada juga yang membuat rak-raknya dari bahan kayu. Pokoknya, banyak pilihan deh….! Tinggal mengikuti selera masing-masing saja. Kalau saya membuat keputusan dengan pilihan seperti saya ceritakan di atas, itu karena pertimbangan masalah tampilan, harga jual kembali dan kekuatan rak dalam menahan beban. Selebihnya, terserah Anda……

Setelah modal tetap (properti dan prasarana) toko selesai dihitung, maka kemudian menghitung berapa modal kerjanya (untuk barang dan operasional). Yang saya maksudkan dengan modal kerja barang adalah modal awal yang diperlukan untuk kulakan barang dagangan untuk mengisi toko. Saya berpedoman pada pengalaman orang lain dalam ini, yaitu menggunakan pendekatan hitungan dengan angka rasio Rp 1 juta,- sampai Rp 1,5 juta,- per m2 luas toko. Untuk “Madurejo Swalayan” saya mengambil agak menengah, yaitu Rp 1,2 juta,- per m2. Maka untuk luas toko sekitar 90 m2, anggaran modal kerja yang disediakan sekitar Rp 108 juta,-. Jumlah uang inilah yang akan terus diputar dan harus dijaga agar jangan sampai berkurang. Syukur-syukur kalau usaha terus berkembang, justru perlu ditambah.

Kemudian, modal kerja operasional, yaitu modal awal yang harus disediakan untuk menutup biaya operasi bulanan toko sebelum toko mampu memberikan keuntungan. Besarnya tergantung dari rencana dan proyeksi yang sudah disusun dalam business plan, sehingga diketahui sampai kapan modal kerja operasional harus terus disediakan setiap bulan. Untuk “Madurejo Swalayan” saya menghitung diperlukan dana sekitar Rp 3,5 juta pada bulan pertama hingga Rp 5 juta-an di akhir tahun pertama. Dari mana angka itu? Dari hitung-hitungan awal perkiraan biaya operasi toko.

***

Nah, kini semua komponen modal toko sudah diketahui, yaitu : Modal tetap (properti dan prasarana toko) Rp 270 juta,- dan modal kerja (barang dagangan) Rp 108 juta,- plus modal kerja operasional setiap bulannya. Semua itu hanyalah angka-angka. Nilai rupiah yang sesungguhnya untuk setiap lokasi dan toko yang berbeda tentu tidak sama. Ada banyak variabel yang akan menentukan nilai modal yang sesungguhnya dibutuhkan.

Di atas semua itu, pengelola “Madurejo Swalayan” memilih untuk tidak meminjam modal dari bank atau koperasi (kecuali kalau ada teman atau saudara yang mau meminjami tanpa bunga, bagi hasil bolehlah dipikirkan…..). Pertimbangannya hanya agar hitung-hitungan dalam buku kas tidak menambah pening kepala. Belum lagi kalau keuntungan masih seret, masih ngos-ngosan dan masih harus bersabar, lalu tilpun datang bertubi-tubi dari bank menagih segera membayar cicilan. Wow………., terlalu sayang kalau urusan itu sampai membuat tidak nyenyak tidur, jadi ndak bisa mikir…. Sebab saya memprediksi bisnisnya “Madurejo Swalayan” ini tergolong jenis bisnis yang peningkatan keuntungannya sangat perlahan, susah untuk digeber (digenjot). Tapi, ini jalan pikiran saya lho…… Jadi, ya pokoknya diada-adakan saja modalnya……

Pinjam uang ke bank bukan hal yang salah, tapi perlu perhitungan matang sebelum memutuskannya. Lain ceritanya kalau mau buka supermarket atau hipermarket sekalian. Untuk kaliber ini kalaupun saya telat mencicil, saya tidak perlu pecicilan lari sipat-kuping, sebab bank akan “mengejar-ngejar” saya dengan cara yang dimanis-maniskan. Memang dimana-mana yang namanya pengusaha kecil apalagi baru calon pengusaha anak bawang, layak untuk di-keciani…….

Saya tidak berani meng-claim bahwa rumusan angka-angka di atas adalah yang terbaik atau layak digunakan sebagai referensi. Saya sepenuhnya sadar bahwa sebagai pemain baru dalam dunia persilatan bisnis ritel, yang dapat saya lakukan hanyalah sekedar berbagi pengalaman. Namun ada fakta yang telah saya catat, bahwa penyusunan business plan seperti ini akan sangat membantu dalam membuat keputusan yang pas sebelum memulai bisnis. Semakin teliti business plan disusun, akan semakin mendekati kenyataan.

Meski demikian, saya bermimpi kalau kelak “Madurejo Swalayan” akan membuka cabang di tempat lain, maka saya sangat confident untuk menggunakan angka-angka di atas sebagai referensi. Dan kalau bisa tetap dengan uang sendiri saja, sesedikit apapun, alias tidak ingin berurusan dengan bank. Saya tidak ingin “just lend it”, pokoknya pinjam saja dari bank.

Yang diceritakan oleh Pak Robert Kiyosaki dalam banyak bukunya adalah sistem perbankan di Amerika, dimana sistem perbankan sudah menjadi bagian keseharian dari masyarakatnya, dimana berurusan dengan bank adalah pekerjaan yang menyenangkan. Bukan di Indonesia, dimana urusan perbankan (baca : njam-pinnjam, cil-ciccil dan gih-taggih) masih menjadi urusan yang complicated bin njlimet bin tidur tak nyenynyak tak iye……., bagi sebagian besar masyarakatnya. Bukannya anti uang bank, melainkan dalam hal ini saya memilih cara konservatif saja dulu, sampai pada suatu saat nanti business plan saya mengindikasikan sebaliknya.

Madurejo, Sleman – 1 Pebruari 2006.
Yusuf Iskandar
Tag:business plan, komputer, madurejo, modal, modal kerja, modal tetap, rak, ritel, swalayan, tata ruang
Ditulis dalam (09) Menghitung Modal, C - MERENCANA BISNIS | 2 Komentar »
Arsip untuk ‘(35) Untung Atau Buntung?’ Kategori
(35) Untung Atau Buntung?
13 Desember 2007
Seperti biasanya, setiap kali tiba waktu gajian bagi pegawai “Madurejo Swalayan”, saya berusaha untuk menyempatkan memberikan presentasi tentang kinerja toko kepada segenap pegawai, disamping memberi refreshing tentang manajemen pelayanan. Saya menganggap mereka perlu tahu seperti apa hasil yang dicapai oleh kerja mereka setiap harinya. Tidak harus sampai membicarakan detil angka-angka nominalnya, tapi paling tidak mereka memperoleh gambaran umum pencapaian dan perkembangan usaha toko selama ini.
Barangkali kebiasaan saya ini tergolong tidak lazim. Mana ada pelayan toko kok diberitahu rahasia dapur juragannya. Dimana-mana juga umumnya hanya mereka yang berada di “level atas” saja yang tahu tentang hal-hal semacam ini. Tapi ya…., begitulah. Bagaimanapun juga, secara manajerial mereka adalah juga pemilik bisnis. Saya kesampingkan hubungan pelayan-juragan dalam konsep visi manajemen tradisional. Saya bawa mereka, yang adalah juga stakeholders, ke dalam konsep visi manajemen modern.
(Yen tak pikir-pikir……, jangan-jangan bisnis utama “Madurejo Swalayan” ini sebenarnya bukan bisnis ritel melainkan bisnis membangun visi. And if by chance ……, yen ndilalah, praktek bisnis visi ini ternyata menyublim menjadi bisnis ritel berjudul “Madurejo Swalayan”, maka manage-lah bersama-sama agar tujuan bisnis utamanya tercapai. Selama masih bernama bisnis, tentunya tetap saja profit-oriented).
***
Ketika saya baru menyelesaikan draft material presentasi untuk para pelayan toko atau pramuniaga, lalu dipamerkan kepada CFO saya, bahwa puji Tuhan kinerja toko di bulan keempat ini cukup bagus. Mendadak-sontak, CFO saya mbengok (teriak atau bicara dengan volume tinggi) : “Apanya yang bagus! Wong, uangnya habis untuk mbayar tagihan dan kulakan, malah hampir tidak cukup untuk mbayari pegawai!”. (Inilah untungnya kalau CFO-nya bekas pacar. Dibengoki yo nyengenges saja, tetap kedengaran mesra di telinga).
Rupanya memang masih ada “internal constraint” yang perlu dibenahi. Bahasa ilmu management-nya, komunikasi bisnis antara sesama tim manajemen toko ternyata belum sama dan sebangun. Sejauh apapun visi ke depan dilemparkan oleh CEO-nya, tapi rupanya sang CFO masih nggondheli (menahan di belakang) dengan visi tradisionalnya. Tidak perlu pethenthengan atau beradu tarik urat leher. Bagaimanapun juga harus disadari bahwa satu-satunya pengalaman kerja sang CFO ini adalah bertahun-tahun “kerja bakti” menjadi CFO rumah tangga dengan spesialisasi bidang ngecakke duwit blonjo (mengelola uang belanja).
Sebagai CFO rumah tangga, target kerjanya pun tidak baen-baen (sembarangan). Berapapun uang belanjanya (raw material), harus bisa mencapai target mencukupi dan memenuhi kebutuhan segenap keluarga (end product), sampai ke hal-hal yang kelihatannya tidak mungkin pun tetap harus cukup… kup…kup… kup…dan dicukup-cukupkan. Sungguh expertise yang luar biasa. Belum lagi selama bertahun-tahun jam kerjanya tak terbatas. Tugas dinas “overtime at anytime and anywhere” pun tidak pernah complaint. Padahal tidak pernah ikut pelatihan, tidak pernah ada yang memberi piagam penghargaan, tidak ada yang membuatkan surat referensi “to whom it may concerned” (dan jangan sampai terjadi, biso ciloko tenan aku…….), apalagi bintang maha-ibu kesetiaan.
Maka, untuk kesekian kalinya kudu telaten membeberkan dan menjelaskan sudut pandang evaluasi bisnis terhadap lembar business plan, laporan laba-rugi dan laporan produksi actual vs budget/target. (Wisss….., pokoknya sambil bernostalgia ingat sewaktu masih petentang-petenteng jadi orang gajian. Bedanya, kalau dulu pakai bahasa Inggris njawani, sekarang pakai bahasa Jawa keminggris). Dan, merubah sudut pandang bisnis seperti ini sungguh tidak mudah. Pokoknya kudu nrimo di-eyel terus…….., harus menerima kalau dibantah terus.
Di mata CFO saya itu, simpel saja, wong cetho welo-welo (jelas-jelas) uangnya habis kok dibilang bagus. Beliaunya lupa, bahwa uang habis tapi stok barang bertambah yang berarti modal kerja telah ditambahkan dan terus diputar. Tindakan ini sebenarnya kalau dilaporkan ke KPK bisa berarti tindak pidana korupsi karena telah menggunakan dana perusahaan secara menyalahi prosedur. Lha iya to, wong hasil keuntungan yang seharusnya dikumpulkan agar setelah tiga setengah tahun bisa digunakan untuk ekspansi. Ee…, malah diputar tidak sesuai rencana usaha alias mendahului melakukan ekspansi usaha.
Tapi ya itulah seninya bakulan ritel. Kasus ekspansi usaha secara otomatis seperti ini akan terus terjadi dan anehnya memang sebaiknya terjadi. Maka nominal hasil keuntungan yang seharusnya dikumpulkan di bawah bantal bulan demi bulan, dapat secepatnya terus diputar, pada setiap kesempatan. Tanpa disadari dan dikomando, sesungguhnya inilah salah satu terobosan cemerlang menggarap peluang melakukan skenario “sangat optimistik”. Karena perputaran bisnis dilakukan lebih awal dan lebih cepat (tidak perlu menunggu selama tiga setengah tahun), sehingga berpeluang memberikan Net Present Value lebih tinggi.
Semakin besar nilai uang yang dihabiskan pada akhir bulan dan semakin habis uang cash yang dikantongi, dapat berarti gerak perputaran modalnya sudah pakai gigi 4. Berarti semakin besar pula laba yang muncul dalam income statement dan akan berarti pula positive cashflow lebih cepat dari yang diproyeksikan. Hanya saja, seperti apapun menggebu-gebunya semangat memutar uang dalam bisnis ritel ini, tetap perlu kendali agar selalu terukur perubahan dan pergerakannya (hal yang mustahil dilakukan dalam sistem bisnis tradisional).
***
Jadi, mbengok-nya sang CFO ini sebenarnya bukan salah, melainkan mbok ya sebaiknya jangan terlalu keras, karena ada penjelasannya. Bahwa uang cash di dompetnya memang habis, tapi usahanya berstatus sedang untung, bukan sedang merugi. Yang harus diwaspadai adalah kalau uang tunai habis untuk kulakan, tapi stok barang di toko seperti tidak bertambah, pergerakannya lambat, pengeluaran membengkak, tingkat penjualannya membentuk garis datar-datar saja dan aura tokonya kurang menggairahkan….. Maka lampu kuning harus dinyalakan kedap-kedip alias segera digelar sidang kabinet paripurna. Usaha ini sedang bergerak menuju untung atau rugi? “What’s wrong?”. Masing-masing pasti ada penjelasannya.
Kalau seandainya “Madurejo Swalayan” ini tidak punya lembar business plan dan data-data untuk analisa ekonomi lainnya, ya setiap bulan cuma bengok-bengokan saja…… Sebab jadi sulit untuk memvisualisasikan kinerjanya, sedang untung atau buntung?. Kecuali cuma mbengok kalau uangnya habis dan kalau dompetnya penuh dieeeeeemmm aja……
Madurejo, Sleman – 9 Pebruari 2006.
Yusuf Iskandar

8) Antara “Do It” Dan “Plan It”
By madurejo
Jika kebetulan suatu kali Anda berkendaraan melakukan perjalanan darat antar kota di Jawa, atau di daerah mana saja, akan Anda jumpai sangat banyak toko-toko baru dan lama berdiri di hampir setiap penggal jalan dan sudut kota yang Anda lewati. Di sana ada puluhan toko berkonsep modern, ratusan toko semi-modern dan ribuan toko-toko tradisional. Ada yang nampak berkembang pesat dan ada yang hidup segan mati tak mau. Hari demi hari, mereka semua bergelut mengumpulkan rupiah demi rupiah, membangun dan mengembangkan usahanya. Ada yang dapatnya sedikit dan tetap bersujud syukur dan ada yang dapatnya banyak dan tetap ingin lebih banyak lagi. Dan, “Madurejo Swalayan” adalah satu di antara ribuan toko itu yang sedang merintis usahanya.
Jika Anda sempat mampir di salah satu atau dua dari ribuan toko yang Anda pandang cukup berkembang, lalu Anda tanyakan pertanyaan kepada mereka : “Bagaimana usahanya, Pak?. Kelihatannya sudah berkembang baik dan maju”. Maka jawabnya : “Ya, lumayanlah, sedikit-sedikit ada peningkatan”. Di balik kalimat bernada merendah ini, kalau digali lebih dalam maka jawaban yang sebenarnya adalah : “Dulu toko saya kecil, sekarang sudah agak besar”. Atau : “Dulu saya hanya punya satu toko, sekarang saya punya dua”. Atau : “Dulu saya menggunakan sepeda motor untuk kesana-kemari, sekarang sudah ada mobil untuk operasional”. Atau : “Dulu rumah saya kecil di pojok kampung sana, sekarang sudah dibangun tingkat”. Anda pun hanya manggut-manggut terkagum-kagum.
Cobalah untuk membangkitkan rasa penasaran pada diri Anda, lalu ajukanlah pertanyaan “aneh” berikutnya : “Sebelum usaha Bapak berhasil seperti sekarang ini, bagaimana Bapak mengawasi operasi toko sehari-harinya untuk mengetahui apakah bisnis sedang bergerak maju atau malah mundur?”. Atau dengan kata lain : “Apakah sebelum memulai usaha ini Bapak mempunyai semacam rencana usaha atau business plan?”. Maka saya yakin sangat sedikit sekali yang menjawab : “Ya”.
Apalagi kalau pertanyaan itu Anda ajukan ke pengelola toko semi-modern atau bahkan toko tradisional, maka pemilik toko akan menjeb (tersenyum) sambil menggelengkan kepala karena tidak mudheng (paham) pertanyaan Anda, sambil berkata dalam hati : “Panganan opo to kuwi?” (makanan apa itu). Itu karena selama ini mereka bekerja atas dasar tradisi turun-temurun sejak kehidupan ini dimulai, dan fakta bahwa dengan berbekal keuletan, ketekunan dan kesabaran dalam mengelola usaha tokonya itu, modal yang mereka miliki dapat terus berputar dan tokonya semakin berkembang. Mereka pun dapat terus menghidupi keluarganya, menyekolahkan anaknya, membelikan kebutuhan hidup rumah tangganya, dsb.
Kini, pertanyaannya : Untuk memulai sebuah usaha toko, apakah sebuah rencana bisnis (bussiness plan) itu diperlukan? Jika Anda sependapat dengan jalan pikiran para pengusaha toko tradisional seperti dalam ilustrasi di atas, maka jelas Anda tidak memerlukan sebuah rencana bisnis. Dan itu bukanlah hal yang salah, sebab jika dipaksakan juga hanya akan membuat kepala nyut-nyutan seperti mau pecah.
Sebaliknya, jika Anda concern terhadap perlunya memantau dan mengukur perkembangan usaha dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, maka Anda perlu mempersiapkan sebuah rencana bisnis sebelum memulai usaha. Atau, jika Anda merasa perlu untuk memastikan lebih dahulu akan kelayakan usaha itu. Atau, jika Anda merasa berkepentingan untuk mengetahui dengan persis apakah usaha Anda sesuai dengan yang direncanakan dan ditargetkan, atau kinerja tingkat pengembalian modalnya lebih baik atau lebih buruk, maka Anda akan memerlukan adanya rencana bisnis.

Menurut logika coro bodon (cara bodoh) yang ada di pikiran saya, itulah beda antara “Just Do It” (pokoknya lakukan saja) dan “Just Plan It” (pokoknya rencanakan saja) yang saya singgung sebelumnya, saat kita akan memulai bisnis. Dan, membuat business plan sederhana itu guampang sekale…… Hanya perlu banyak tepekur dan melamun sambil leyeh-leyeh (berbaring santai), lalu sedikit mikir dan berkhayal, menghimpun inspirasi, mengumpulkan angka-angka, lalu menuangkannya dalam sebuah tabel.

***
Penganut aliran “Just Plan It” akan merencanakan lebih dahulu sebaik-baiknya sebelum mulai membuka toko. Maka, memiliki business plan (rencana bisnis) adalah termasuk langkah awal untuk mengetahui dan memproyeksikan gerak liak-liuk bisnis seperti apakah yang diinginkan oleh pemilik atau pengelolanya. Kami mengkonsentrasikan perihal rencana bisnis ini pada hal-hal yang terkait dengan produksi (omset toko) dan masalah pembiayaan (finansial), yang dituangkan dalam lembar kerja berbentuk tabel. Hal-hal di luar itu kiranya dapat untuk tidak diprioritaskan terlebih dahulu pada tahap paling awal, tidak berarti diremehkan. Urusan thethek-bengek selain masalah keuangan pada gilirannya juga perlu mendapatkan perhatian semestinya.
Apa yang harus dilakukan untuk membuat business plan? Mulai dengan mengumpulkan semua jenis pembiayaan yang dikeluarkan. Ada orang yang suka dengan pengelompokan antara capital cost dan operating cost, ada juga yang memilih pemisahan antara fixed cost dan variable cost. Pengelola “Madurejo Swalayan” menempuh cara yang dibuat mudah saja, menggunakan terminologi biaya modal dan biaya operasi dengan sedikit modifikasi dalam komponen biayanya. Tidak perlu gusar dengan urusan biayaan seperti ini. Yang penting tidak melenceng dari ngelmu pem-biayaan untuk tujuan financial analysis.

Biaya-biaya apa saja? Pertama, tentunya menghitung-hitung perkiraan berapa total biaya modal dibutuhkan, baik modal tetap seperti properti maupun modal kerja. Kedua, menentukan perkiraan target omset harian rata-rata yang layak dicapai bertahap mulai bulan pertama dan tahun pertama, sampai katakanlah, proyeksi hingga 15 tahun ke depan.

Angka perkiraan rata-rata omset harian ini memang sebaiknya tidak mengambil begitu saja dari langit, melainkan perlu kejelian membaca potensi pasar. Hal-hal yang dapat dijadikan pedoman antara lain mencari (atau mencuri juga boleh) tahu berapa omset toko sejenis di sekitar kawasan toko kita, dan seberapa besar potensi calon pelanggan yang diperkirakan dapat diserap. Bisa juga dengan berpedoman pada pengalaman toko swalayan sejenis dan sekelas toko kita meskipun berada di lokasi lain, bagaimana kinerja mereka pada waktu-waktu awal dulu ketika tokonya mulai buka (biasanya pemilik toko masih ingat).

Ketiga, menghitung berapa kira-kira keuntungan bersih yang dapat diperoleh. Asumsikan, margin keuntungan rata-rata adalah 10%, lalu dikalikan omset harian rata-ratanya. Keempat, menghitung berapa biaya operasional setiap bulan yang harus dikeluarkan. Maka akan dengan mudah diketahui berapa total pengeluaran dan total pemasukan, yang lalu diproyeksikan sepanjang 15 tahun ke depan dengan memperhitungkan asumsi tingkat kenaikan omset penjualannya maupun biaya operasinya.
Setelah angka-angka tersebut dikumpulkan, selanjutnya hanya diperlukan alat sederhana, bernama “pipo londo” alias ping-poro-lan-sudo (kali-bagi-tambah-kurang), untuk menghitung angka aliran uang tunai (cashflow) bulanan atau tahunannya. Dengan alat itu akan dengan mudah untuk mengetahui kapan balik modal (break-even). Lebih jauh lagi dapat diketahui pula berapa tingkat pengembalian modalnya (return on investment). Bagi yang biasa kerja dengan komputer, program excel akan siap membantu menghitungnya. Kalau mau sedikit agak repot, sebenarnya banyak buku yang membahas tentang hal ini.
Nah, dari lembar kerja itulah maka akan dapat diketahui berapa omset harian rata-rata yang harus dicapai agar supaya usaha tokonya menguntungkan. Atau sebaliknya, komponen biaya-biaya apa saja yang dapat dihemat agar lebih menguntungkan. Seiring berjalannya usaha, pengelola toko dapat selalu mengevaluasi pencapaian atau kinerja tokonya dari periode waktu ke waktu, dan lalu menyiasatinya dengan langkah-langkah jitu. Jika ternyata performance tokonya menunjukkan angka jeblok atau meleset terus-menerus, segera dapat digelar sidang kabinet terbatas bidang omset toko, guna mengevaluasi dua hal : strategi tempur di lapangan yang salah atau penentuan sasaran tembaknya yang salah.
Pertanyaan yang barangkali muncul adalah : “Saya tidak tahu berapa angka-angka perkiraan yang sesuai untuk rencana toko saya?”. Tidak perlu khawatir, dapat dipikir sambil tidur, gunakan indera keenam, gunakan “feeling”, entoh masih cunthel (buntu) juga, tanyakan kepada orang gila yang suka duduk-duduk di sudut jalan, lalu isikan angkanya…….. Berjalannya waktu, lakukan revisi ketika menemukan angka yang lebih baik. Pengalaman saya menjadi orang gajian selama 16 tahun di perusahaan berkelas internasional mengajarkan bahwa revisa-revisi rencana bisnis adalah hal yang lumrah, meskipun versi pertama tetap menjadi referensi.
Ibarat perumpamaan mengatakan, “Just Do It” di tangan kiri dan “Just Plan It” di tangan kanan. Anda tinggal pilih hendak melangkah dengan mengayunkan tangan kiri dulu atau tangan kanan dulu. (Sebaiknya tidak mengayunkan kedua tangan sekaligus, nanti dikira penari latar Pentas nDang-ndut……..). Dan, pemilik “Madurejo Swalayan” memilih untuk mengambil langkah tegap dengan mengayunkan tangan kanan terlebih dahulu.
Madurejo, Sleman – 31 Januari 2006 (Tahun Baru 1427 Hijriyah).
Yusuf Iskandar
Tag: balik modal, business plan, financial analysis, just do it, madurejo, plan it, rencana bisnis, swalayan
Arsip untuk ‘(10) Belum Untung Kok Sudah Mbayar Ini-Itu’ Kategori
(10) Belum Untung Kok Sudah Mbayar Ini-Itu
13 Desember 2007
Tahun pertama atau lebih spesifik lagi dalam bulan-bulan awal sejak toko mulai beroperasi, bisa menjadi hari-hari panjang penuh kekhawatiran dan ketidaksabaran. Khawatir kalau-kalau usaha toko tidak jalan, tidak didatangi calon pelanggan, tidak ada pemasukan yang diharapkan. Tidak sabar ketika usahanya tersendat-sendat, tak kunjung ramai pembeli, bertanya-tanya dalam hati kapan keuntungan mulai datang. Pendeknya, menjadi hari-hari penuh keprihatinan.Sementara hasil usaha toko belum banyak memberikan keuntungan, tetapi biaya-biaya rutin bulanan tetap harus dikeluarkan.

Biaya awal untuk menutup operasional toko itulah yang saya maksud dengan modal kerja operasional yang harus saya sediakan dulu, sampai pada gilirannya nanti keuntungan toko mampu mengambilalih menutupnya. Jangan sampai terjadi, baru membuka toko sudah uring-uringan, nggrundel, wong belum ada untung kok sudah mbayar ini-itu. Jadi, harus benar-benar dipahami bahwa ada atau tidak ada keuntungan, maka biaya modal kerja operasional tetap harus dikeluarkan. Agar tidak terus terus-terusan mengeluarkan biaya awal ini, maka satu-satunya cara hanyalah berusaha agar tokonya segera menggapai keuntungan.

Biar tidak terlampau kaget, maka pada saat menyusun business plan hendaknya semua biaya operasi sudah diidentifikasi. Biaya-biaya apa sajakah gerangan yang perlu dibayar setiap bulan? Konkritnya, konsentrasikan saja pada biaya-biaya yang nyata. Menilik pada saat awal berdirinya “Madurejo Swalayan” hanyalah toko kecil yang belum terlampau memerlukan analisa keuangan yang rumit bin njlimet, maka saya menyederhanakan biaya overhead dan mengabaikan depresiasi serta nilai sisa (salvage value), dan cukup semuanya saya bungkus ke dalam kelompok biaya lain-lain saja. Gampang-gampangan wae……, tapi tidak berarti menggampangkan. Kalau kepingin yang rumit, di toko ada bukunya, bisa dipelajari sendiri……..

***
Pertama : Biaya upah. Biaya dalam kelompok ini mencakup upah bulanan tenaga kerja untuk enam orang pelayan toko (pramuniaga) termasuk kasirnya, seorang Pengawas (Supervisor) dan Manager (terpaksa KKN dengan mengangkat istri sendiri sebagai Manager merangkap CFO). Untuk tahap awal ini, CEO (merangkap konsultan, sopir, terkadang juga janitor) harus rela “kerja bakti”. Tidak dibayar dulu, juga tidak dijanjikan nge-rapel upah. Kebijaksanaan ini disepakati agar tidak terlalu “memberatkan” beban cashflow toko yang baru muntup-muntup memulai usaha. Nanti ndak kehilangan gairah…… Kalau kelak usaha semakin maju, (Insya Allah) CEO dipertimbangkan untuk diberi upah, seikhlasnya. Pokoknya diniati amal saleh sajalah.
Kedua : Biaya operasional. Dalam kelompok ini tercakup semua biaya rutin yang harus dikeluarkan guna menunjang operasi toko. Antara lain : membayar tagihan tilpun dan listrik (jantung berdegup-degup ketika mendengar tarif dasar listrik dan tilpun bakal naik). Kemudian ada biaya bensin (entah jenis BBM-nya apa, pokoknya sebut saja bengsin…..), yaitu biaya untuk membeli BBM-nya gen-set dan transportasi dari rumah ke toko pergi-pulang. Inilah salah satu kerugiannya kalau lokasi toko jauh dari rumah, ongkos transport jadi tinggi. Sedangkan kendaraan kijang 2000 cc yang digunakan Manager dan CEO-nya selama ini lumayan boros (kayaknya mesti ditukar dengan yang lebih irit, deh…….!). Sesekali kalau cuaca cerah naik honda bebek juga oke (cap apapun sepeda motornya, pokoknya sebut saja honda…..).
Dalam kelompok ini masih ada biaya minum untuk semua pegawai, paling tidak harus selalu tersedia air akua (cap apapun air mineralnya dan darimanapun sumbernya asal bukan dari akuarium, pokoknya sebut saja akua…..). Di tempat lain, barangkali kelompok biaya ini masih perlu ditambah dengan biaya sampah, keamanan, preman, iuran RT dan aneka-ria iuran maupun pungutan lainnya. Untungnya “Madurejo Swalayan” masih berada di pinggir kota dan agak ndeso, sehingga masalah sampah masih relatif mudah diatasi. Demikian pula biaya keamanan masih bisa dicakup melalui forum siskamling dengan sistim jimpitan setiap malam (botol plastik bekas yang dipotong setengah lalu di-canthel-kan di pagar dan setiap malam diisi uang seikhlasnya, tidak lagi beras).

Ketiga : Biaya promosi. Biaya ini saya kaitkan dengan biaya sumbangan sosial. Bukan berarti kalau kita nyumbang lalu dibebani promosi, melainkan kalau kita berpromosi bisa melalui pemberian sumbangan. Ada bedanya, lho…..! Kalaupun tidak dikait-kaitkan juga tidak jadi masalah. Anggaran biaya untuk promosi saya asumsikan sekitar 0,5% dari total pemasukan kotor atau omset penjualan. Mempertimbangkan bahwa “Madurejo Swalayan” masih tergolong kelas teri dalam bisnis peritelan, maka 0,5% adalah angka yang cukup moderat untuk usaha yang masih muntup-muntup ini. Seiring perkembangan usaha angka ini dapat ditingkatkan. Pada tahap permulaan, jumlah yang lebih besar dapat dialokasikan tersendiri sebagai modal awal promosi untuk grand-opening.. Melakukan studi kelayakan kecil-kecilan dan sederhana untuk program pengiklanan juga akan membantu sampai setinggi apa persentase biaya promosi perlu dipatok atau dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu.

Keempat : Biaya kehilangan. Kelompok biaya ini adalah biaya yang perlu diperhitungkan untuk menutup perkiraan penyusutan atau kehilangan barang. Kehilangan barang dagangan antara lain dapat disebabkan oleh karena dicuri pengutil baik eksternal maupun internal, rusak dan tidak dapat ditukar (terkait dengan pemasok), ketlingsut (terselip entah secara fisik atau administratif), atau ….. diambil anak saya tapi pelayan toko tidak melaporkannya. Intinya, kehilangan barang harus tetap diantisipasi dan dianggarkan biaya penutupannya. Saya menggunakan asumsi angka rata-rata 1% dari total perkiraan hasil penjualan. Saya cukup comfortable dan optimis mampu mengendalikan angka ini. Untuk toko-toko yang kelasnya lebih besar, angka ini bisa mencapai rata-rata 2% sampai 4%.

Idealnya memang perlu dilakukan inventarisasi stok (stock take atau stock opname) secara periodik. Namun hal ini sangat jarang dilakukan oleh toko-toko kecil dan cenderung diabaikan saja. Pekerjaan ini memang cukup merepotkan karena pasti akan memakan waktu, tenaga dan tentunya ongkos. Hingga memasuki bulan keempat ini “Madurejo Swalayan” belum pernah melakukannya. Meskipun demikian, perlu dipikirkan dan dicarikan cara untuk melakukan inventarisasi stok dengan metode sampling. Tidak riil tapi mudah-mudahan representatif.

Kelima : Biaya lain-lain. Ini adalah biaya yang dicadangkan untuk mengatasi pengeluaran-pengeluaran yang tidak direncanakan sebelumnya. Lazim disebut sebagai biaya tak terduga, atau sebenarnya sudah diduga tapi tidak tahu besarannya. Untuk tahap awal ini saya mengalokasikan angka 5% dari total biaya operasional, sampai nanti saya memperoleh angka yang lebih representatif. .

***

Gabungan dari kelima komponen biaya itu akan menghasilkan total biaya operasi dalam hitung-hitungan laporan rugi-laba (income statement). Pada bulan-bulan awal di tahun pertama dimana keuntungan usaha belum memungkinkan, maka biaya-biaya tersebut harus dimasukkan sebagai modal kerja. Sampai kapan? Tidak bisa dijawab pasti. “Madurejo Swalayan” (Alhamdulillah) memasuki operasi bulan kedua sudah tidak memerlukan modal kerja operasional lagi karena keuntungan toko sudah mampu menutup biaya operasinya, meskipun total keuntungannya sendiri belum ada apa-apanya. Sedang di toko lain di lokasi lain barangkali perlu waktu satu tahun untuk melepasnya. Tidak ada yang salah dan benar, sepanjang memang sudah diperhitungkan dalam business plan yang disusun sebelumnya.
Seiring dengan berjalannya usaha, tahun demi tahun, tentunya angka-angka dalam biaya operasi akan meningkat. Bisa karena kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan tarif tilpun dan listrik, penyesuaian harga BBM, dsb., termasuk juga dampak tidak langsung dari inflasi dan ekskalasi. Karena itu kenaikan-kenaikan itu juga mesti tercermin dalam business plan. “Madurejo Swalayan” menggunakan angka kenaikan rata-rata 10% per tahun.
Meskipun hitung-hitungan soal biaya operasi itu sepertinya merepotkan, namun intinya sebenarnya hanya satu hal saja. Yaitu : jangan nggrundel (mengeluh) kalau usaha belum untung kok sudah harus mbayar ini-itu…… Grundelan seperti ini hanya cenderung akan menggiring kita untuk melakukan cara tambal-sulam (dapat uang sedikit bayar yang ini dulu, ada pemasukan lagi bayar yang itu, mendadak harus bayar ini diambilkan dari situ, harus mbayar lagi ambilkan dulu dari sana, dst., hingga pada setiap akhir bulan sang CFO klepek-klepek……., muncul bintang-bintang berputar di atas kepalanya…….).
Madurejo, Sleman – 2 Pebruari 2006.
Yusuf Iskandar
Arsip untuk ‘(22) Memasang Spanduk, Siapa Takut?’ Kategori
(22) Memasang Spanduk, Siapa Takut?
13 Desember 2007
Salah satu resiko bagi orang yang membuka usaha adalah didatangi orang yang minta sumbangan. Macam-macam alasan dan tujuannya. Menghadapi hal yang demikian, saya menetapkan policy, bahwa prioritas diberikan kalau permintaan sumbangan itu datang dari kalangan desa setempat. Di luar itu, sumbangan ala kadarnya saja. Bagaimanapun juga, masyarakat setempat adalah stakeholder yang perlu diberi perhatian lebih. Belakangan terpikir, bagaimana agar tidak sekedar memberi sumbangan, melainkan bisa saling take and give.

Terakhir datang permintaan sumbangan dari panitia “mujahadah” desa Madurejo. Panitia ini akan menggelar acara mujahadah umum di Balai Desa yang akan melibatkan segenap warga masyarakat muslim desa Madurejo khususnya dan kecamatan Prambanan umumnya. Acara akan dipimpin oleh seorang Kyai yang cukup disegani di sana.


Mujahadah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya berdoa dengan kesungguhan. Istilah majelis mujahadah dalam bahasa populer dapat disamakan dengan istilah majelis istighosah, dzikir bersama, doa bersama, dan yang semacam itu yang sempat “nge-trend” dimana-mana. Sebutan istilah mujahadah ini sangat lekat di kalangan masyarakat muslim di daerah seputaran Yogyakarta, khususnya yang berbasis di pesantren tradisional.

Melihat latar belakang yang demikian, maka tidak ada salahnya forum ini dimanfaatkan sebagai ajang woro-woro (pemberitahuan). Sumbangan uang diberikan sebagai wujud tanggungjawab sosial toko “Madurejo Swalayan”, sekaligus sebagai ibadah bagi pemiliknya. Akan tetapi juga terselip sisi “muamalah”-nya bahwa sebagai pihak yang turut menjadi sponsor bagi acara tersebut, maka selembar spanduk bertuliskan logo, nama dan alamat toko akan dipasang di arena mujahadah.

Jadi, kalau memang diperlukan harus memasang spanduk, siapa takut? Meskipun “Madurejo Swalayan” belumlah ada apa-apanya dibandingkan dengan mini-market atau toko swalayan sejenis yang ada di Yogya bahkan di pinggirannya, namun siapa lagi yang akan nguri-uri (menghidup-hidupkan), kalau bukan dirinya sendiri. Dan, dirinya “Madurejo Swalayan” telah siap melakukan berbagai jurus untuk membesarkan dirinya.

***

Tiba waktunya pagelaran majelis mujahadah, acara berlangsung malam hari mulai sekitar jam 21:00 WIB hingga selesai tengah malam. Dari kejauhan saya lihat spanduk “Madurejo Swalayan” sudah terpasang disana. Dalam hati saya berkata, ratusan orang-orang saleh yang datang dari berbagai penjuru kecamatan Prambanan dan sekitarnya, tentu akan melihat dan membaca spanduk itu, saat mereka memasuki arena majelis mujahadah. Mereka pasti orang-orang saleh, paling tidak pada malam itu. Sebab kalau malam itu tidak saleh tidak mungkin mau menyempatkan hadir, bahkan berombongan dan berdesak-desakan naik truk atau angkutan bak terbuka, berbaju koko-bersarung-berpeci dan berkain kerudung. Semoga terkirim doa tulus bagi segenap warga masyarakat Madurejo dan sekitarnya, dan “Madurejo Swalayan” terselip di dalamnya.

Tidak perlu berharap yang muluk-muluk. Cukup kalau ada lima sampai sepuluh orang saja dari ratusan yang hadir malam itu, terangsang ingin tahu lalu menyempatkan untuk mampir ke “Madurejo Swalayan” di lain hari. Tidak usah belanja, cukup kalau mau mampir saja. Sebab, multiplier effect dari yang sepuluh orang itu saja sudah luar biasa dampaknya bagi publisitas atau upaya pengenalan atas sebuah tempat usaha baru yang lokasinya ada di sekitar tempat tinggal mereka.

Terbukti beberapa hari sesudahnya, ada seorang ibu pegawai negeri siang-siang mampir ke toko (entah pulang dari kantor, entah mbolos dari kantornya), yang dengan jujur bercerita bahwa beliau baru tahu ada toko “Madurejo Swalayan” setelah membaca spanduk di acara mujahadah. Bingo….! Semoga masih ada sembilan orang lagi yang bernasib sama seperti ibu itu, meskipun tidak cerita. Itulah salah satu yang diharapkan dari jurus woro-woro, iklan atau promosi. Tentu bukan satu-satunya cara, masih banyak cara lain yang dapat ditempuh. Gagasan-gagasan dan terobosan-terobosan baru terus digali dan dipikirkan (seringkali sambil tidur…..).

Jika harus memasang spanduk untuk melakukan promosi, tidak selamanya berarti bagaimana mengajak orang untuk datang ke “Madurejo Swalayan”, melainkan juga bagaimana agar keberadaan “Madurejo Swalayan” dapat diterima dan dirasakan sebagai bagian dari komunitas di sana. Sesuai dengan visi dan misi toko ini : mengajak masyarakat desa Madurejo untuk beribadah bersama-sama di bidangnya masing-masing. Sederhana saja…..

Madurejo, Sleman – 5 Desember 2005.
Yusuf Iskandar
Arsip untuk ‘(38) Hujan Pun Membawa Berkah’ Kategori
(38) Hujan Pun Membawa Berkah
13 Desember 2007
Di seputaran pergantian tahun Masehi dan tahun Imlek, musim durian dan rambutan, biasa ditandai dengan musim hujan berkepanjangan plus bonus banjir di mana-mana. Para pemilik warung, toko, resto, pada mengeluh : “Kalau hujan terus-terusan begini alamat rejeki berkurang…….”. Keluhan semacam ini sudah jadi bagian basa-basi percakapan keseharian para bakul dan pengusaha warung, toko atau resto. Maka ungkapan seperti : “Toko saya sepi akibat hujan terus-menerus” akan sering terdengar di saat-saat seperti ini.
Kalau bisa dituliskan dengan persamaan matematika, maka rumusnya para bakul itu seakan-akan menjadi JP = 1/H, dimana : JP = jumlah pembeli dan H = hujan. Banyaknya pembeli akan berbanding terbalik dengan banyaknya hujan. Semakin sering hujan turun ke bumi maka pengunjung toko semakin sedikit, yang berarti potensi keuntungan yang dapat diraih juga semakin sedikit. Gampangnya, semakin sering hujan, rejeki semakin seret.
Padahal dari sono-nya, Sang Maha Pembuat Hujan tidak pernah sekalipun merencanakan untuk mengurangi rejeki para pengusaha kecil, para bakul atau siapapun dengan cara menghujaninya, melainkan hanya mengaturnya dengan skenario berbeda. Kata Sang Maha Pembuat Hujan : “Lho, hujan itu juga rejeki bagi kalian semua baik yang bakul, pengusaha atau pengangguran sekalipun…..”. Tapi apa lacur, hujan sudah kadung identik menjadi tanda bagi berkurangnya pembeli yang belanja di warung, toko atau resto. Kalau demikian, pasti telah terjadi mis-understanding, salah paham antara maksud Sang Maha Pengusaha Pabrik Hujan dan para pengusaha yang kehujanan.
***

Kata para pelayan “Madurejo Swalayan”, kalau pas hujan deras mengguyur memang banyak juga orang-orang lewat yang kehujanan kemudian numpang berteduh. Saya jadi ingat saat-saat awal beroperasinya “Madurejo Swalayan”, ada seorang pengunjung yang mengeluh tempat parkirnya panas. Keluhan itu saya terjemahkan sebagai usulan agar dipasang atap peneduh. Usul itupun kemudian saya penuhi. Dan sekarang ternyata ada manfaatnya, ya itu tadi, membantu menyediakan tempat berteduh kepada orang lewat yang kehujanan.
Kehujanan lalu berteduh, adalah aktifitas yang tidak ada orang pernah merencanakannya. Oleh karena itu orang-orang seperti ini pada dasarnya cenderung sedang “kebingungan”. Tiba-tiba saja harus menghabiskan waktu dengan aktifitas yang membosankan, menunggu hujan reda. Ada ide? Sodorkan selebaran infomezzo TIPS, biar dibaca-baca sambil menunggu hujan berlalu. Kebanyakan orang yang sedang “kebingungan” seperti ini tidak akan merasa cukup untuk membaca hanya sekali, barangkali sampai diulang-ulang membacanya karena hujan tak berhenti juga. Apalagi kalau orang itu sendirian.
Maka dua kebaikan sudah dilakukan dengan tanpa direncana sebelumnya, memberi peneduh dan memberi bacaan bermanfaat . Sederhana sekali. Tapi saya melihat kejadian ini dari bingkai yang berbeda. Ini adalah potret dengan bingkai yang bernama “opportunity”. Moga-moga saja kebaikan semacam ini juga termasuk kontribusi sosial yang bukan berupa uang, yang menurut “ngelmu gaib” bisa menjadi tabungan yang punya nilai berkah tak terduga.
Suatu sore saya lihat ada dua orang berboncengan naik sepeda motor kehujanan. Lalu berbelok masuk ke halaman “Madurejo Swalayan” numpang ngeyup (berteduh). Hujan turun cukup deras dan agak lama, lalu tidak lama kemudian salah seorang masuk toko dan membeli rokok. Entah karena kedinginan, entah karena bengong kelamaan menunggu hujan tak kunjung reda, entah memang persediaan rokoknya habis, entah karena kehabisan bahan obrolan, atau barangkali buat pantes-pantes merasa tidak enak sudah nunut ngeyup. Apapun alasannya, saya senang kalau ternyata halaman toko saya bisa membantu orang lain berlindung dari terpaan hujan. Kalau akhirnya ada yang masuk toko dan belanja atau terserang virus impulse buying, sungguh itu di luar tanggung jawab saya.
Suatu kali ada seorang sales sepedamotoran yang berkunjung ke “Madurejo Swalayan” dalam rangka mencatat order mingguan. Biasanya sales ini akan buru-buru langsung pergi melanjutkan perjalanannya seusai mencatat pesanan barang. Tapi berhubung hujan turun cukup lebat, terpaksa dia menunggu dulu. Ini tentu menjadi aktifitas yang tidak pernah direncanakannya. Dengan kata lain dia pun sebenarnya sedang “kebingungan”. Membaca selebaran TIPS bisa jadi penghibur dan pengisi waktu. Kalau kemudian sales itu pun membeli rokok dan permen atau snack, sekali lagi itu benar-benar di luar tanggung jawab saya.
Apa yang dapat saya petik dari kejadian ini? Memang benar apa kata Sang Maha Pengusaha Pabrik Hujan, bahwa peristiwa hujan itu tidak ada sangkutnya dan pautnya dengan banyak atau sedikitnya rejeki seseorang. Mestinya tidak perlu ada salah paham. Bukan maksud Sang Pembuat Hujan untuk membatasi rejeki seseorang dengan menghujaninya, karena hujan itu sendiri adalah rejeki.
Saya seperti diingatkan, bahwa di balik setiap threats (ancaman) pasti ada opportunities (peluang). Kalau hujan itu dianggap sebagai ancaman atau penghalang, maka hendaknya jangan hujannya yang digrundeli (dikeluhkan) atau dipisuh-pisuhi (dimaki-maki), melainkan peluangnya yang mesti dicari dan didayagunakan. Dan, pemilik “Madurejo Swalayan” ini termasuk orang yang percaya bahwa peluang itu tidak akan pernah habis dicari dan tidak akan pernah selesai digarap.
Bagaimana menyulap agar turunnya hujan dapat menjadi berkah bagi siapa saja, termasuk “Madurejo Swalayan”. Dalam bahasa vulgarnya, bagaimana mempengaruhi agar dalam hujan pun orang tetap mau berbelanja dan bagaimana agar orang-orang yang kehujanan itu mau masuk toko dan membeli sesuatu. Maka, (seharusnya) hujan pun membawa berkah…….
Madurejo, Sleman –14 Pebruari 2006 (Hari Valentine, dimana coklat laku keras).
Yusuf Iskandar


Arsip untuk ‘(05) Peluang Itu Ternyata Ada Di Mana-mana’ Kategori
(5) Peluang Itu Ternyata Ada Di Mana-mana
13 Desember 2007
Dulu sewaktu saya masih menjadi orang gajian, sesekali saya suka iseng tanya-tanya orang, kira-kira peluang bisnis apa ya yang bisa dikerjakan di Yogya (atau di mana sajalah). Biasanya orang yang saya tanya akan menjawab : “Wah, buuuanyak sekali…….”. Sangking banyaknya sehingga untuk menyebut satu saja susah.

Kini sewaktu saya tidak lagi jadi orang gajian (entah sementara, entah seterusnya…..), gantian saya ditanya oleh banyak teman, peluang bisnis apa ya yang bisa dikerjakan? Saya pun menjawab : “Wow…, buuuanyak sekaleee…….”. Saking buanyaknya sehingga memang susah untuk diperinci satu per satu. Sekarang saya baru tahu, memang nyatanya demikian. Peluang bisnis ada di mana-mana, tapi susah untuk menyebut mana yang paling baik. Tinggal pilih mau yang model dan gaya apa.

Rasanya tidak salah kalau saya kelewat percaya diri, bahwa yang namanya peluang (opportunity) itu tidak akan pernah habis digali dan tidak akan pernah selesai digarap. Pating tlecek ning ngendhi-ngendhi….., berserakan di mana-mana. Boleh percaya boleh tidak. Tapi biasanya baru akan percaya setelah benar-benar mulai memasuki “alam peluang” itu tadi. Karena tahapan yang paling sulit adalah : memulainya ituuu…….

Omong-omong soal peluang bisnis, saya sebenarnya agak sungkan untuk cerita banyak-banyak (Agak tahu dirilah…. Wong pengalaman bisnisnya baru sak uprit kok sudah ngomong aneh-aneh. Maka ya yang sedikit itu saja yang ingin saya bagikan kepada yang mau.…..). Dan satu-satunya pengalaman agak banyak yang saya miliki dalam hal ini adalah pengalaman berpikir. Maka yang sebaiknya saya omong-omongkan berikut ini ya hanya sekedar pemikiran tentang peluang bisnis saja. Selebihnya kita tinggal tidur saja sambil memikirkannya ramai-ramai seperti potong padi di sawah.

Wong namanya baru pemikiran, maka untuk lebih mendalamnya mari dipikirkan secara berjamaah. Kalau hanya dipikir satu orang namanya pembebekan. Satu orang pegang tongkat lalu diacung-acungkan ke kanan, maka bebek-bebeknya rame-rame ke kiri. Ada juga bebek-bebek yang bandel dan larinya kencang hingga membuat kalang kabut teman-temannya. Begitu sebaliknya. (Seperti angkot atau bis kota, lampu sign kedip-kedip ke kiri, eh enggak tahunya nyosor ke kanan. Malah terkadang tiba-tiba mak jegagik berhenti, baru lampu sign menyusul dikedip-kedipkan. Makanya hati-hati kalau berkendaraan di belakang angkot atau bis kota. Membebek memang lebih enak…..).

Kalau ternyata pemikiran yang akan saya paparkan ini ngoyoworo (membuang-buang waktu dan enerji saja), jangan rikuh untuk segera beranjak pergi ke toko buku membeli buku-buku tebal yang mahal-mahal karya orang-orang pinter, yang terkadang susah dipahami dan akhirnya malah menghiasi lemari ruang tamu. Hingga akhirnya satu-satunya peluang yang tertinggal adalah peluang menjadi konsumen yang baik. Bukan salah juga.

***

Menurut pemikiran saya, sebaiknya tidak perlu gusar atau bingung bertanya-tanya tentang peluang bisnis apa yang bisa dikerjakan. Karena sesungguhnya jutaan peluang itu ada bertebaran tepat di depan mata kita. Bagi orang yang sudah mataun-taun (bertahun-tahun) jadi orang gajian, memang terkadang sulit untuk melihat peluang-peluang yang sebenarnya sudah di depan mata itu. Saya merasakannya. Tapi cobalah untuk keluar garis atau keluar kotak, atau duduknya agak digeser, atau kaca matanya agak dimiringkan….. sedikiiiit saja. Kita akan surprise!. Lho, ternyata di sini ada peluang, di sana ada peluang, di mana-mana ada peluang!

Menghadiri seminar, mengikuti kursus, atau bercengkerama dengan kenalan, adalah salah satu cara yang dapat diharapkan menjadi lantaran untuk menunjukkan adanya sebuah peluang. Tidak salah juga kalau mau ikut kursus menjahit, membuat hong kwe, bikin petasan, atau hadir di seminar cara mengatasi kepala mau pecah atau cara mengatasi jumbleng mampet. Bukan karena kita ingin punya sertipikat untuk buka usaha penjahitan, tukang kue, jual petasan, dukun pijat sakit kepala atau ahli jumbleng, melainkan hanya mencari pemicu, eee… siapa tahu di sana ditemukan petunjuk arah menuju peluang bisnis. Itu sebabnya berinvestasi untuk hadir di seminar atau ikut kursus atau mbayari kenalan makan siang, bukanlah pemborosan selama bukan karena ketimbang nganggur…..

Setelah peluang-peluang itu terlihat, terjadilah kebingungan tahap kedua. Mana yang cocok buat saya?. Semua nampak bagus prospeknya. Dalam membuat keputusan untuk mengambil sebuah peluang bisnis, saya tidak mau mengandalkan saran orang lain sebagai satu-satunya referensi (inilah kecenderungan jalan pintas kita, merasa belum punya pengalaman lalu menganggap saran atau pandangan orang lain adalah pilihan terbaik). Saran atau pandangan orang lain, porsinya hanya sebagai pembanding dan untuk membuka wawasan saja. Kalaupun akhirnya keputusan kita sama dengan yang disarankan oleh orang lain, maka itu murni karena keyakinan atas pilihan kita.

Saya yakin Anda pasti pernah mengalami hal-hal seperti ini : Suatu kali seorang teman Anda datang lalu dia bercerita tentang bisnis jual sembako atau mracangan kebutuhan sehari-hari. Katanya ini bisnis sangat bagus karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Lain waktu ada lagi teman lain bercerita tentang usaha bengkel atau jasa cuci kendaraan. Katanya sekarang ini jumlah kendaraan bermotor semakin banyak setiap tahunnya, dan pasti butuh bengkel dan tempat mencuci. Tidak lupa angka-angka statistik pun dipaparkan. Ada lagi teman lain mengusulkan tentang bisnis apotek atau toko obat. Katanya siapa yang tidak butuh obat, setiap orang kaya atau miskin pasti membutuhkannya (ini kata lain dari : setiap orang pasti bergiliran sakit).

Ada lagi yang menyarankan usaha toko besi atau material bangunan. Digambarkannya tentang pesatnya pertumbuhan kota yang pasti butuh sarana rumah, kantor, pabrik dan sebagainya yang kesemuanya perlu suplai material bangunan. Belum lagi peluang di bisnis propertinya. Datang lagi teman lain, dengan sangat bersemangatnya bercerita bahwa usaha warung makan atau restoran itu luar biasa prospeknya, lebih-lebih di kawasan dekat kampus atau perkantoran. Margin keuntungannya pun cukup tinggi. Dan masih banyak cerita, usul, saran, datang dari mana-mana tentang bisnis yang semuanya menggambarkan prospek yang bagus.

Apakah itu salah? Sama sekali tidak. Semua itu benar adanya. Hanya saja kita perlu jeli, apakah peluang bisnis itu akan cocok dengan karakter kita? Termasuk karakter di bawah bantal kita, juga karakter kita dalam mengelola resiko. Mana yang paling pas?

Karena itu ojo gumunan, jangan mudah terpesona. Kalau ada orang bikin pabrik garuk punggung lalu sukses jadi jutawan, maka Anda pun ingin menirunya karena mengira bahwa punya usaha garuk punggung adalah peluang bisnis yang bagus bagi Anda. Atau, ada orang yang dulu jual perkedel kacang tholo kelilingan yang sekarang punya dua truk, lalu Anda pun berkesimpulan bahwa bisnis jual perkedel kacang tholo adalah peluang bisnis yang baik bagi Anda. Atau, ada pengusaha sukses yang sekarang punya waralaba memandikan kucing, lalu Anda pun menyangka bahwa bisnis memandikan kucing adalah peluang bisnis yang menjanjikan.

Meniru kok jadi tradisi – Tanya kenapa? Untuk ini sebaiknya Anda percaya, bahwa apa yang baik dan cocok bagi orang lain belum tentu baik dan cocok bagi kita. Meniru sendiri bukan hal yang salah, bukan juga langkah bodoh. Melainkan ada beda antara meniru secara “Just Do It” dan meniru secara “Just Plan It”. Entoch, akhirnya harus meniru juga, go ahead…….!

Lebih baik, buka mata, buka telinga, buka hati, lalu cup….., tangkap sebuah peluang yang dirasa paling cocok. Apapun peluang itu. Sekali lagi, apapun peluang itu, lalu garaplah!. Betapapun kecilnya, betapapun terlihat biasa-biasa saja, betapapun ndeso-nya. Menangkap peluang tidak serta-merta berarti harus dijalani, karena setiap peluang kemudian perlu ditimbang matang-matang sebelum mulai dieksekusi. Bisa jadi, peluang pertama yang ditangkap adalah bukan peluang yang “sebenarnya”, tapi mulailah merencanakan dan melakukannya dengan kesungguhan.

Kenapa peluang pertama barangkali bukan peluang yang “sebenarnya”? Karena peluang pertama ini siapa tahu hanya sebagai pintu masuk saja. Pintu masuk yang akan mengantarkan menuju ke peluang-peluang baru yang lebih potensial, prospektif dan lebih cocok ditekuni, yang merupakan hasil pancingan dari peluang yang pertama itu. Kelak seiring perkembangan usaha tinggal memutuskan akan melanjutkan untuk mengembangkan peluang pertama yang sudah dimulai, atau berkonsentrasi pada peluang turunan yang diyakini lebih cocok, atau malah menjadi konglomerat yang mengerjakan semua peluang yang ada.

***

Nah, kini biar saya tebak apa yang muncul di pikiran Anda. Sampeyan pasti sedang ngrasani saya : ini pengelola “Madurejo Swalayan” kayak yak-yak-o saja. Apa sudah mengalaminya? Saya pun harus menjawabnya dengan jujur : “Sudah, pengalaman saya kira-kira sudah tujuh-bulan jalan…….”.

Tinggal sekarang Anda yang memilih, di antara : Kisah sukses orang yang sudah malang-melintang di dunia bisnis selama lebih 20 tahun yang akhirnya membuat Anda terkagum-kagum dan terlena karena setelah itu Anda tetap tidak tahu apa yang mestinya dilakukan?. Atau, kisah belum sukses orang yang malang (belum melintang) yang baru nujuh-bulanan belajar bisnis (itupun kalau lagi mikir suka ditinggal tidur) tapi bisa membuat Anda seperti dibangunkan dari tidur? It’s your call. Bagi saya, apa yang saya pikirkan sepanjang hayat dikandung badan adalah juga sebuah pengalaman.

Kalau saya, kalau saya ini lho….., lebih baik terlena tapi ada yang membangunkannya. Daripada teruuuussss terlena dan terkagum-kagum dan manggut-manggut dan larut dalam pujian kesana-kemari, eee…..tahu-tahu terserang bludrek ketika tiba-tiba anak perempuannya minta dinikahkan dan perlu biaya ngudubilah banyaknya (Anda pun masygul : rasanya baru kemarin lho dik, mas, mbak, pak de, bu de, setiap pagi saya mengantar dia ke sekolah……….. Dari jauh terdengar sayup-sayup siaran radio swasta niaga mengalunkan lagu berjudul “Terlambat Sudah”………).

Madurejo, Sleman – 22 Pebruari 2006.
Yusuf Iskandar

bisnis ritel

5 Unsur Penting di Bisnis Ritel

Bisnis ritel merupakan salah satu bisnis yang sangat mengutamakan pengalaman pelanggan. Jika pengalaman pelanggan tidak atau kurang mengesankan, maka pelanggan tidak akan kembali lagi. Oleh karena itu, ritel harus memberikan suatu pelayanan yang 'wow' sehingga pelanggan tidak pernah kapok untuk datang.

Berdasarkan sebuah laporan berjudul "Discovering Wow - A Study of Great Retail Shopping Experiences in North America" terdapat 5 unsur penting yang menghasilkan pengalaman berbelanja yang hebat. Apa saja dan seberapa penting faktor-faktor tersebut dan bagaimana ritel Anda dapat menghadirkannya?

1. Engagement, yakni menjalin hubungan baik dengan pelanggan

Engagement merupakan salah satu komponen terpenting, karena ini merupakan salah satu faktor yang memunculkan loyalitas pelanggan. Bagaimana Anda dapat menciptakan suatu engagement dengan pelanggan? Bersikaplah ramah, bicara sopan disertai dengan senyum. Bahkan lebih bagus lagi jika Anda bisa mengenali dengan baik pelanggan yang seringkali datang. Engagement juga meliputi bersedia untuk membantu pelanggan dengan tulus bilamana dibutuhkan, serta juga meluangkan waktu untuk mendengarkan keluhan dan saran dari mereka.

2. Executional excellence, yakni menjalankan operasional ritel dengan sempurna

Suatu executional excellence bakal memberikan suatu pengalaman berbelanja yang mengesankan bagi pelanggan. Untuk dapat melakukannya, maka operasional ritel harus jauh dari kesalahan seminor apapun. Caranya, antara lain menomorsatukan kualitas produk, mengecek ketersediaan/kelengkapan barang, menguasai product knowledge dan mampu menjelaskannya dengan baik, hingga menemukan produk yang sedang dicari pelanggan.

3.Brand experience, yakni ritel mempunyai keunikan brand dan menghadirkan pengalaman berbeda

Hal yang perlu diperhatikan adalah pelanggan seringkali melihat bahwa ritel yang satu sama saja dengan ritel yang lain, tidak ada bedanya. Sehingga, untuk menghadirkan pengalaman pengalaman yang mengesankan dan diingat, maka ritel perlu untuk menciptakan brand yang unik.
Untuk menciptakan keunikan brand, pertama kali adalah desain toko yang unik dan menarik, kemudian juga pelayanan yang spesial dan tidak standar, kualitas produk bagus, serta ciptakan penawaran-penawaran menarik bagi pelanggan.

4. Expediting, yakni peduli terhadap proses dan lama berbelanja pelanggan

Bagi pelanggan, waktu belanja yang pendek seringkali menjadi salah satu fokus utama. Permudah proses berbelanja, misalnya dengan menaruh produk di rak yang mudah dijangkau. Ritel juga perlu memperhatikan apakah sistem antrian yang diimplementasikan sudah optimal atau belum. Juga latih kasir untuk bekerja dengan cepat sehingga tidak mengakibatkan pelanggan kesal menunggu antrian. Latih karyawan supaya dapat berlaku responsif dalam membantu proses berbelanja pelanggan. Intinya, berikan kenyamanan berbelanja pada pelanggan.

Contohnya, misalnya pelanggan sedang bingung mencari kasir yang agak kosong, maka karyawan dapat menginformasikannya kepada mereka. Atau, seperti yang telah banyak diaplikasikan, buat beberapa kasir khusus untuk mereka yang belanjanya tidak banyak.

5. Problem recovery, yakni menangani masalah yang muncul dengan baik

Suatu pelayanan tentunya tidak selamanya bisa selalu sempurna, sehingga wajar jika terjadi kesalahan. Hal yang terpenting ketika Anda melakukan kesalahan adalah bagaimana memperbaikinya, sehingga pelanggan tidak menjadi kecewa ketika beranjak. Setelah memperbaikinya, tugas Anda adalah bagaimana membalikkan kekecewaan tersebut menjadi sebuah kepuasan, yang mendorong mereka untuk berkunjung kembali.

Misalnya saja, pelanggan membeli barang yang ternyata sudah kadaluarsa di sebuah ritel. Tentunya hal ini akan membuat mereka kecewa, bahkan bisa jadi kapok untuk berbelanja di sana. Anda bisa mengimplementasikan kebijakan supaya pelanggan dapat menukar barang yang sudah dibelinya, sehingga hal ini akan memulihkan kekecewaannya. Dan langkah lebih jauh lagi, yakni memberikan kepuasan pelanggan yang tadinya kecewa, misalnya dengan menambahkan item ataupun voucher gratis.